Ahlan wa Sahlan, Saudaraku..

Assalamu'alaykum warahmatullah wabarakatuh..

Ini adalah blog resmi Kajian Wisata Ruhani Undip untuk mempermudah seluruh Jamaah Masjid Kampus Undip untuk berinteraksi baik tanya jawab tentang syariah dan kehidupan sehari-hari.
Dan juga disediakan seluruh file dan dokumentasi di setiap kajian, semoga dapat mengobati kerinduan terhadap Kajian Islam karena sibuknya aktifitas baik kuliah, kerja, maupun aktifitas lainnya..

Selanjutnya semoga ini bisa menjadi sarana terbaik kita bersama menjadi Muslim yang terbaik..

Wisata Ruhani
"Bersama Menuju Kebaikan"

10 September 2013

Menjemput Si Jilbab Syar'i

Menjemput Si Jilbab Syar'i


oleh : Rizqi Arum Prastuti
annida-online.com

Segala sesuatu di dunia ini butuh proses. Ingin menjadi pintar, butuh proses. Ingin kaya, perlu proses. Pun dengan menjadi baik, butuh proses. Banyak orang yang tak berhijab, bila ditanya ‘kapan akan berhijab?’, biasanya menjawab, ‘nunggu hidayah’. Padahal hidayah itu tak datang dengan sendirinya. Hidayah tak lalu tiba-tiba muncul dalam satu malam atau satu hari tanpa sebab. Hidayah perlu dijemput. Hidayah perlu dirangsang. Hidayahpun perlu proses.

Saya ingin bercerita pengalaman saya dalam mendapatkan hidayah untuk berhijab syar’i. Hidayah itu tak serta-merta saya dapatkan dalam waktu singkat. Tapi butuh enam tahun lamanya. Waktu yang lumayan tak singkat.

Dimulai saat akan masuk SMA, saya begitu galau memutuskan apakah nanti ke sekolah dengan berhijab atau tidak. Waktu itu saya termasuk cewek tomboy, tergabung dalam tim basket. Teman-teman seangkatan—yang notabene dari lingkungan yang sama dengan saya—memutuskan untuk berhijab. Dan keputusan mereka mempengaruhi pikiran saya. Separuh pikiran tidak ingin berhijab, namun separuhnya lagi ingin mengikuti teman-teman. Malu lah, kalau tak berhijab sendiri. Begitu pikir saya.

Pada saat mengisi formulir apakah saya akan memilih seragam yang berhijab atau tidak, saya lama sekali berpikir. Penting sekali mengisi formulir tersebut, karena kan mempengaruhi panjang kain jahitan yang akan diterima, disesuaikan dengan tujuannya. Jika ingin berhijab, maka kain yang diterima akan lebih panjang dibandingkan dengan yang tidak berhijab. Nah, saya galau sekali saat mengisi formulir itu. Teman-teman yang lain sudah mengumpulkan, namun saya belum tetap memilih. Berhijab atau tidak. Orang tua saat itu membebaskan saya mau berhijab atau tidak. Keputusan sepenuhnya di tangan saya. Maka di saat-saat terakhir pengumpulan, saya akhirnya mengisi formulir tersebut dengan keterangan berhijab. Rasa malu saya pada teman-teman waktu itu mengalahkan separuh pikiran saya tentang keinginan tak berhijab.



Maka setelah mengisi formulir tersebut otomatis saya harus berhijab ke sekolah. Namun berhijab saya waktu itu masih hijab gaya remaja labil. Saya masih berhijab ketika pergi dengan keluarga. Namun jika saya pergi dengan teman-teman, terkadang saya tak berhijab. Saat praktek renangpun saya tak berhijab. Hal ini saya lakukan karena masih terbawa suasana, di mana teman-teman sebaya saya yang masih labil dalam berhijab, maka saya ikut-ikutan labil. Jika teman-teman saya pergi tak berhijab, maka sayapun boleh melakukannya. Begitu pikir saya waktu itu.

Meski teman-teman yang berhijab labil lumayan banyak jumlahnya, terkadang perasaan malu masih sempat menyambangi hati. Saya sudah memutuskan berhijab, tapi kok terkadang masih buka hijab saat berpergian? Apa nggak malu dilihat orang? Biasanya berhijab kok bepergian nggak?

Semakin bertambahnya usia semakin sadar, saya tak memegang teguh keptutusan yang dulu saya ambil. Tak konsisten dengan keputusan tersebut. Maka saat masuk kuliah, saya memutuskan untuk berhijab sepenuhnya. Saat ke kampus berhijab, saat pergipun berhijab. Beberapa teman saya yang tadinya berhijab waktu SMA beralih tak berhijab saat kuliah. Namun tak peduli. Saya sudah memutuskan ingin memegang teguh keputusan yang saya ambil dulu. Saya ingin konsisten berhijab!

Namun usia yang yang masih tergolong remaja itu terkadang masih membuat saya bertingkah labil. Di tahun awal-awal kuliah, saya terkadang tak berhijab saat keluar kost. Hal ini dikarenakan tujuan saya keluar itu hanya ke depan kost saja—ingin beli makan. Dan didukung oleh mbak penjaga kost yang juga keluar tanpa berhijab--yang bisasanya dia berhijab, maka saya nekat keluar tanpa berhijab. Aduh, labilnya saya waktu itu.

Seiring berjalannya waktu, saya berpikir, hal tersebut sudah melanggar keputusan yang saya buat. Hal tersebut sudah tak sesuai dengan niatan saya saat masuk kuliah. Maka saya kembali memutuskan, jika keluar kost harus berhijab.

Alhamdulillah... sukses dengan keputusan tersebut. Namun hijab saya masih hijab yang sedang trend di kalangan anak muda. Masih hijab yang stylish, hijab yang sedang in. Saya tak serta-merta langsung berhijab syar’i kala itu. Hijab yang saya gunakan masih tipis, hijab paris. Gaya berhijab sayapun mengikuti style hijab yang sedang trend. Saya masih menggunakan celana ketat—saya pikir hal ini dikarenakan sifat tomboy yang masih melekat. Dan saya nyaman-nyaman saja memakainya.

Waktu berjalan, keadaan fisik sayapun berubah. Saya mengalami pertambahan tubuh, yang mengakibatkan paha saya juga bertambah besar. Makin tak nyaman jika memakai celana ketat. Akan tampak sekali bentuk paha saya. Ini bukan karena saya yang mementingkan penampilan, tapi karena tak rela jika orang-orang—khususnya laki-laki—tahu bentuk dan lekuk paha saya. Alhamdulillah, rasa malu ini masih ada. Maka saya berhenti memakai celana ketat. Sebagai gantinya, selalu memakai rok, terkadang gamis.

Dikarenakan sering sekali galau waktu itu, maka saya berusaha untuk mendekatkan diri pada Allah. Saya follow twitter para ustadz, membaca buku-buku agama, dan sebagainya. Dari twitter dan bacaan-bacaan tersebut, hati saya tergerak ingin membuat bidadari surga cemburu pada saya dengan cara menjadi muslimah yang extraordinary. Kenapa harus menjadi biasa, kalau kita bisa menjadi luar biasa sebagai muslimah? Maka saya putuskan ingin menjadi muslimah yang bukan biasa-biasa saja.

Berangkat dari pemikiran ‘saya tidak ingin menjadi salah satu yang biasa’, saya berusaha mengubah gaya berhijab. Saya ingin seperti para muslimah aktivis dakwah di kampus. Hijab yang saya pakai—paris, tipis—itu saya dobel, agar tak menerawang. Dan saya longgarkan hijab saya, supaya terlihat lebih besar, dan menutupi dada. Kaos kaki tak lupa dipakai.

Hidayah berhijab syar’i yang saya alami tersebut tidak terjadi dalam waktu semalam, sehari, seminggu, atau sebulan. It takes six years. Saya perlu ‘menceburkan’ diri saya terlebih dahulu dalam dunia hijab, belajar untuk merasakan, memahami, kemudian mendapatkan hal yang sebenarnya itu—hidayah. Untuk mendapatkan view terumbu karang yang indah kita perlu ‘menceburkan’ diri ke laut, bukan? Sama dengan hidayah berhijab, kita juga perlu ‘menceburkan’ diri ke dalam dunia hijab, berani mencoba berhijab. Tak perlu tunggu waktu untuk memulai. Waktu yang akan menjawab keraguan berhijab. Waktu akan membawa proses itu. Proses menemukan hidayah.

0 komentar:

Post a Comment