Hukum
Air
“Dan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya, engkau melihat bumi itu
kering dan tandus, tetapi apabila Kami turunkan hujan di atasnya, niscaya ia
akan bergerak dan subur. Sesungguhnya (Alloh) yang menghidupkannya pasti dapat
menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu [QS 41:
39]”
Alhamdulillah.
Semalaman hujan turun dengan derasnya. Hal ini menambah kesyukuran bagi Fulan
yang tinggal di daerah kos-kosan Tembalang. Sudah empat hari, air PAM mati dan
air sumur kering kerontang. Si Fulan mengalami kesulitan dalam thaharah alias
bersuci. Air hujan menjadi sebuah solusi di tengah kekeringan sumber air yang
dialami. Air memang memegang peranan strategis bagi kehidupan alam semesta. Dua
pertiga dari bumi kita terdiri dari perairan. Begitu pula dengan komponen
penyusun tubuh manusia yang 90% terdiri dari cairan. So, tak ada salahnya jika
kita mengenal lebih dekat dengan air. Pada minggu ini (21/02), Wisata Ruhani
mengambil tajuk tentang hukum air. Bagaimana kriteria air yang mensucikan dan
tidak mensucikan? Yuk, kita simak uraian hukum air yang disampaikan oleh Ustadz
Mahfudz ;D
Air sebagai sumber kehidupan
makhluk hidup memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Ada lima jenis hukum air
yang berlaku:
- Air Muthlaq, seperti air hujan, air sungai, air laut, air salju, dan air zam-zam.
Hukum: suci
dan mensucikan
- Air Musta’mal, yaitu air yang lepas dari anggota tubuh orang yang sedang berwudhu atau mandi, dan tidak mengenai benda najis;
Hukum: suci seperti yang disepakati
para ulama, dan tidak mensucikan menurut jumhurul ulama.
Dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu, ia berkata :
Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam berpapasan dengannya di salah satu jalan Madinah saat ia
junub. Lalu ia menyelinap, kemudian pergi mandi. Lalu datang lagi, maka beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah ?”.
Ia menjawab : “Saya tadi dalam keadaan junub. Saya tidak senang mendampingi
Anda dalam keadaan tidak suci”. Lalu beliau bersabda : “Maha Suci Allah.
Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis” [HR. Jama’ah; shahih].
Segi pemahaman
hadits di atas adalah bahwa karena orang mukmin itu tidak najis, maka tidak ada
alasan air yang tersentuh olehnya menjadi hilang sifat kesuciannya. Bertemunya
dua barang yang suci (air dan tubuh orang mukmin), tentu tidak menimbulkan
pengaruh terhadap kesuciannya.
- Air yang bercampur benda suci, seperti air teh, air kopi, STMJ, air cuka, dan air sabun, selama percampuran itu sedikit tidak mengubah nama air.
Hukum: tidak mensucikan menurut Imam
Syafi’i dan Malik. Kalo tidak mensucikan, berarti ndak boleh dipake buat
thaharah/ bersuci.
- Air yang terkena najis, jika mengubah rasa, warna, atau aromanya, maka hukumnya najis tidak boleh dipakai bersuci, menurut ijma’. Sedang jika tidak mengubah salah satu sifatnya, maka mensucikan, menurut Imam Malik, baik air itu banyak atau sedikit; tidak mensucikan menurut Madzhab Hanafi; mensucikan menurut Madzhab Syafi’i jika telah mencapai dua kulah, yang diperkirakan sebanyak volume tempat yang berukuran 60 cm3.
- Su’r (sisa) yaitu air yang tersisa di tempat minum setelah diminum:
a. Sisa anak Adam (manusia) hukumnya
suci, meskipun ia seorang kafir, junub, atau haidh.
b. Sisa kucing dan hewan yang halal
dagingnya, hukumnya suci.
c. Sisa keledai dan binatang buas, juga
burung, hukumnya suci menurut madzhab Hanafi.
d. Sedangkan sisa anjing dan babi,
hukumnya najis menurut seluruh ulama
So, bagaimana, Sobat?
Semoga sedikit uraian tentang hukum air menambah khasanah dan rasa syukur kita
terhadap nikmat Sang Pencipta, ya. Air perlu dijaga kelestariannya dan perlu
diperhatikan hukum pemanfaatannya secara bijak.
AMB
Artikel Wisata Ruhani
29 Rabiulawal 1433 H
Sumber referensi:
Al Qur’an dan Al hadist